TAWASUL DAN WASILAH
Merupakan sunnatullah setiap tujuan akan terwujud dengan
ijin Allah setelah ditunaikannya sebab atau perantara yang biasa disebut
wasilah. Baik wasilah yang memang Allah ciptakan secara tabiat dan fitrah yang
dinamakan wasilah kauniyah, maupun wasilah yang Allah syariatkan di dalam Al
Qur’an maupun As Sunnah yang disebut wasilah syar’iyah. Hanya saja wasilah
kauniyah sangat mungkin diwujudkan seorang mu’min ataupun kafir, seperti makan
untuk kenyang, pakaian untuk menjaga diri dari rasa dingin atau panas dan seterusnya.
Adapun wasilah syar’iyah hanyalah muncul dari seorang mukmin saja. Macam kedua
inilah yang menjadi topik bahasan kita kali ini.
Allah sendiri telah menetapkan adanya wasilah bagi seorang mukmin untuk
mendekatkan diri kepada-Nya:
يَأيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا اتَقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah
yang mendekatkan diri kepada-Nya”. (Al Maidah : 35)
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan tafsiran Ibnu Abbas, Mujahid, Abu
Wa’il dan selain mereka dari kalangan ulama tafsir bahwa yang dimaksud wasilah
di dalam ayat tersebut adalah suatu perkara yang bisa mendekatkan diri kepada
Allah .
Lebih daripada itu Allah juga menetapkan perkara-perkara yang bisa dijadikan
sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Allah tidak menyerahkan
begitu saja kepada hamba-hamba-Nya untuk menentukan perkara tersebut.
Satu-satunya kaidah untuk mengetahui bahwa suatu perkara itu bisa mendekatkan
diri kepada Allah hanyalah dengan melihat keterangan dari Allah dan Rasul-Nya
di dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah. Tidak diperkenankan bagi siapapun,
setinggi apapun derajat dia untuk menentukannya dengan akal pikiran, semangat
ibadah, perasaan ataupun pengalaman religius semata. Tidaklah apa yang datang
selain dari Allah dan Rasul-Nya melainkan pasti akan timbul pertentangan dan
ikhtilaf. Allah berfirman :
أَفَلاَ
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَو كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ
اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
“Apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan
datang dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di
dalamnya”. (An Nisaa’ : 82)
Tentang Rasul-Nya pun Allah beritakan:
وَ مَا يَنْطِقُ
عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحيٌ يُوْحَى
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An Najm: 3)
Kaidah yang sangat penting ini hendaklah selalu dipegang oleh setiap muslim,
yang bila dia menjalankan wasilah tersebut maka dia telah menunaikan sebuah
amalan yang disebut tawasul. Kaidah ini semakin tampak jelas pentingnya tatkala
tujuan tawasul itu sendiri adalah mendekatkan diri kepada Allah , berharap
untuk mendapatkan balasan kebaikan, keridhoan, jannah-Nya dan dikabulkan do’a
oleh-Nya . Nah, mustahil sekali seseorang dapat mengetahui perkara tertentu
sebagai wasilah untuk mendapatkan kemulian yang agung disisi-Nya melainkan
hanya dari Allah yang Maha Tahu dan Maha Kuasa atas segala apa yang ada di
sisi-Nya.
Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah di dalam
“At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu” hal. 30 telah memberikan peringatan penting
kepada kita berkaitan tentang kaidah ini. Beliau berkata: “Dan diantara hal
yang perlu diperhatikan: Bahwa apa yang telah ditentukan untuk dapat menjadi
wasilah kauniyah cukuplah dengan tidak adanya larangan dari syari’at. Adapun
wasilah syar’iyah tidaklah cukup untuk ditentukan dengan tidak adanya larangan
dari syariat sebagaimana yang dipahami banyak manusia. Akan tetapi wasilah
syar’iyah harus ditentukan dengan keterangan syar’i tentang masyru’ dan
sunnahnya wasilah tersebut.
Kemudian beliau membawakan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang merupakan
kaidah fiqhiyah terkenal:
الأَصْلُ
فِي الْعِبَادَاتِ المَنْعُ إِلاَّ لِنَصٍّ وَفي الْعَادَاتِِ الإِبَاحَةُ إِلاَّ لِنَصٍّ
“Hukum asal ibadah itu dilarang kecuali kalau ada nash (dalil) yang
membolehkannya. Adapun hukum asal adat kebiasaan itu adalah diperbolehkan
kecuali kalau ada nash yang melarangnya”.
Maka ingatlah peringatan ini karena sangat penting untuk membantumu dalam
mencari kebenaran yang diperselisihkan manusia”.
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah di dalam “Al Qoulul Mufid” 1/162-163
memberikan kelengkapan kaidah tadi yang tidak kalah pentingnya bahwa penentuan
sesuatu sebagai sebab (wasilah) yang sebenarnya bukan sebab yang Allah tentukan
baik secara kauniyah maupun syar’iyah merupakan syirik kecil yang tidak menutup
kemungkinan untuk kemudian terjerembab kedalam syirik besar. Wal ‘Iyadzu
billah.
Perkara-perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah tentukan sebagai wasilah yang
seseorang diijinkan untuk bertawasul dengannya adalah sebagai berikut:
1. Tawasul kepada Allah dengan nama-nama Allah yang baik dan sifat-sifat-Nya
yang tinggi. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:
وَ ِللهِ
الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْه بِهَا
“Dan hanya milik Allah nama-nama yang baik. Maka berdo’alah kalian dengan
(wasilah) nama-nama tersebut”. (Al A’raaf : 180)
Asy Syaikh Abdurrahaman As Sa’di rahimahullah menafsirklan ayat ini dengan
ucapan beliau: “Dan diantara kesempurnaan nama-nama Allah yang baik tersebut
adalah tidaklah Dia diseru melainkan dengan (wasilah) nama-nama-Nya dan seruan
(do’a) tersebut mencakup do’a ibadah dan do’a permintaan. Dia diseru di dalam
setiap permintaan dengan nama yang sesuai dengan permintaan tersebut. Contohnya
seseorang berdo’a: “Ya Allah ampunilah aku dan rahmatilah aku. Sesungguhnya
Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Terimalah taubatku wahai Dzat yang
Maha Memberi taubat. Berilah aku rizki wahai Dzat yang Maha Memberi rizki.
Berilah kelembutan padaku wahai Dzat yang Maha Lembut dan lain-lain”.
Tidaklah diragukan bahwa sifat-sifat Allah yang tinggi juga termasuk di dalam
wasilah tersebut karena nama-nama-Nya yang baik sekaligus mengandung
sifat-sifat bagi-Nya. Terlebih lagi Rasululullah amalkan di dalam do’anya yang
shohih:
اللهُمَّ
بِعِلمِكَ الْغَيْبَ وَ قُدْرَتِكَ على الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ
خَيْرًا لي وَتَوَفَّنِي إَذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لي
“Ya Allah dengan ilmu-Mu tentang yang ghaib dan kekuasaan-Mu terhadap
makhluk-Mu, hidupkanlah aku yang Engkau telah ketahui bahwa hidup itu lebih
baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku”. ( H.R An
Nasa’i dan Al Hakim serta dishohihkan Asy Syaikh Al Albani di dalam “Shohih An
Nasa’i no. 1304).
Disini beliau bertawasul kepada Allah dengan wasilah dua sifat-Nya yaitu “Al
Ilmu” dan “Al Qudrah” (kekuasaan).
2. Tawasul dengan amalan sholih yang pernah dilakukan seseorang yang bertawasul
tersebut.
Jenis tawasul ini didasarkan sebuah hadits Muttafaqun ‘Alaihi dari Abdullah bin
Umar ? tentang tiga orang dari kaum terdahulu yang terperangkap di sebuah gua
karena tertutup batu besar. Salah satu diantara mereka bertawasul dengan amalan
berbakti kepada kedua orang tuanya. Yang kedua bertawasul dengan terjaganya
kehormatan dia dari perbuatan zina dan yang ketiga bertawasul dengan penunaian
amanahnya. Hal itu mereka lakukan agar Allah menggeser batu tersebut. Akhirnya
pun Allah kabulkan do’a mereka. Rasulullah mengkisahkan cerita panjang tentang
ketiga orang tersebut diantaranya dalam rangka menetapkan dan memuji tawasul
yang mereka lakukan walaupun hal itu terjadi pada masa sebelum diturunkannya
syariat beliau .
3. Tawasul dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah tetapkan perkara ini di dalam firman-Nya:
رَبَّنَا
إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادَيًا يُنَادِي لِلإِيْمَانِ أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا
رَبَّنَا فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ تَوَفَّنَا
مَعَ الأَبْرَارِ
“Wahai Rabb kami sesungguhnya kami telah mendengar seruan orang yang menyeru
(Muhammad ) kepada keimanan yaitu: “Berimanlah kalian kepada Rabb kalian”. Maka
kami pun beriman. Wahai Rabb kami ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah
kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang baik”.
(Ali Imran : 193)
Maka lihatlah mereka menyebutkan keimanan terlebih dahulu sebelum berdo’a !
Bahkan iman dan amalan sholih sendiri merupakan sebab dikabulkannya sebuah do’a
sebagaimana firman Allah :
وَيَسْتَجِيْبُ
الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وِيَزِدْهُمْ من فَضْلِهِ
“Dan Dia memperkenankan do’a orang-orang yang beriman dan beramal sholih serta
menambah balasan kebaikan kepada mereka dari keutamaan-Nya”. (Asy Syura :26).
Demikian keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam “Al Qo’idah Al
Jalilah” hal. 97 dan 241.
4. Tawasul dengan menyebutkan keadaannya yang sangat membutuhkan sesuatu kepada
Allah .
Do’a Nabi Zakariya ? yang Allah kisahkan di dalam firman-Nya menunjukkan bolehnya
perkara ini. Dia berfirman:
قَالَ رَبِّ
إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ
رَبِّ شَقِيًّا
“Wahai Rabbku sesungguhnya tulangku telah melemah, rambutku telah ditumbuhi
uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada-Mu, wahai Rabbku”.
(Maryam : 4)
Kemudian beliau pun meminta kepada Allah untuk dianugerahi seorang putera yang
sholih. Dan Allah pun mengabulkannya.
5. Tawasul dengan do’a orang yang sholih kepada Allah .
Tawasul jenis ini pernah dipraktekkan baik di jaman Nabi masih hidup maupun
setelah sepeninggal beliau . Di dalam riwayat Muttafaqun ‘Alaihi dari hadits
Anas bin Malik ? menceritakan tentang tawasul orang Arab Badui dengan do’a Nabi
agar Allah menurunkan hujan ketika terjadi kekeringan dan menahan hujan ketika
terjadi banjir. Maka Allah mengabulkan do’a beliau .
Demikian juga apa yang diriwayatkan Al Bukhori di dalam “Shohih”-nya dari Umar
bin Al Khoththob ? bahwa beliau pernah bertawasul dengan do’a Abbas bin Abdul
Muththolib ? agar Allah menurunkan hujan.
Di dalam tawasul jenis kelima ini terdapat satu kaidah yang sangat penting
bahwa yang dijadikan sebagai wasilah adalah do’a seorang yang sholih. Sehingga
kalaupun orang sholih tersebut tidak memanjatkan do’anya atau mendo’akan sesuatu
yang tidak mungkin dikabulkan maka tentunya tidaklah mungkin untuk ditunaikan
tawasul jenis ini. Walillahil Hamdu.
Penyebutan macam-macam tawasul yang diperbolehkan secara syariat ini apabila
dipadukan dengan kaidah bahwa penentuan tawasul syar’iyah itu hanya dengan
keterangan Al Qur’an dan As Sunnah maka mengeluarkan segala bentuk tawasul yang
tidak termasuk di dalamnya, walaupun dengan berbagai dalih dan alasan.
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah di dalam “At Tawasul” hal. 50 memberi nasehat
mulia kepada kita dengan ucapannya: “Dan diantara perkara yang sangat aneh,
engkau melihat mereka (orang-orang yang bertawasul dengan wasilah yang tidak
disyari’atkan) itu berpaling dari macam-macam tawasul yang disyariatkan.
Hampir-hampir mereka tidak lagi melakukan satupun darinya di dalam do’a ataupun
tatkala membimbing manusia untuk melakukan tawasul. Padahal itu telah
ditetapkan di dalam Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan umat ini. Engkau
melihat mereka menggantinya untuk kemudian sengaja membuat do’a-do’a dan tawasul-tawasul
sendiri yang tidak pernah disyariatkan Allah . Tidak pula pernah dipraktekkan
Rasulullah dan ternukilkan dari pendahulu umat ini dari kalangan tiga generasi
terbaik. Minimal yang mereka katakan bahwa tawasul yang diluar tawasul syar’i
itu diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Maka betapa pantas keadaan mereka
dengan firman-Nya :
أَتَسْتَبْدِلُوْنَ
الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih
baik?”.(Al Baqarah : 61)
Dan nampaknya pemandangan amaliah mereka memperkuat kebenaran ucapan seorang
tabi’in yang mulia Hassan bin Athiyyah Al Muhasibi rahimahullah tatkala
berkata: “Tidaklah suatu kaum membuat kebid’ahan di dalam agama mereka kecuali
Allah cabut sunnah setimpal dengan perbuatan bid’ah itu. Kemudian Allah tidak
mengembalikannya kepada mereka sampai hari kiamat”. (Diriwayatkan Ad Darimi
1/45 dengan sanad shohih)”.
Beliau pun juga mengajak kita untuk berpikir jernih tentang permasalahan besar
itu di dalam “Silsilah Adh Dha’ifah” 1/94. Beliau berkata: “Kalaulah tawasul
bid’ah itu dianggap tidak keluar dari lingkup khilafiyah, maka jika manusia mau
bersikap adil pastilah mereka akan berpaling darinya dalam rangka hati-hati dan
mengamalkan ucapan beliau :
دَعْ مَا
يَرِيْبُكَ إلَي مَالاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu”.
Untuk kemudian engkau beramal dengan apa yang kami isyaratkan dari
bentuk-bentuk tawasul yang disyariatkan. Namun ternyata mereka – ironis sekali
– berpaling dari perkara ini. Lalu berpegang teguh dengan tawasul yang
diperselisihkan tadi seakan-akan tawasul bid’ah tersebut sebagai suatu
keharusan yang mereka tekuni sebagaimana halnya perkara yang wajib !”.
Setelah itu kita pun harus mengerti bagaimana bentuk tawasul bid’ah yang
sebenarnya telah diperingatkan para ulama sebelum munculnya nama besar Asy
Syaikh Al Albani rahimahullah sekalipun !.
Bentuk tawasul bid’ah yang sering diterangkan para ulama di dalam banyak karya
mereka adalah seperti apa yang Allah tegaskan di dalam firman-Nya:
مَا نَعْبُدُهُمْ
إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلي اللهِ زُلْفَى
“Tidaklah kami (orang-orang musyrik) beribadah kepada mereka (orang-orang
sholih) melainkan agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya”.(Az Zumar: 3)
Hakekat bentuk tawasul mereka ini adalah menjadikan dzat dan kedudukan
orang-orang sholih sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah ataupun
wasilah untuk dikabulkannya suatu do’a. Hanya saja Asy Syaikh Sholih bin Fauzan
bin Abdillah Al Fauzan hafizhohullah di dalam “Al Muntaqo” dari fatwa beliau
1/89 memberikan rincian yang bagus tentang bentuk tawasul bid’ah ini yang
masing-masingnya memiliki hukum yang berbeda. Beliau berkata: “Kemudian bila
dia (orang yang bertawasul bid’ah yang masih beriman kepada rububiyah Allah )
ini bertaqarrub kepada orang-orang sholih dengan sesuatu dari bentuk-bentuk
ibadah seperti menyembelih untuk wali-wali atau orang sholih, nadzar untuk
mereka, meminta hajat dari orang-orang mati dan beristighotsah kepada mereka
maka ini adalah syirik besar yang mengeluarkan dia dari agama.
Namun apabila dia bertawasul dengan orang-orang sholih karena kedudukan mereka
yang tinggi di sisi Allah tanpa memberikan satupun bentuk ibadah kepada mereka
maka ini termasuk bid’ah yang diharamkan dan perantara untuk sampai kepada
syirik”.
Alasan mereka (orang-orang musyrik) berbuat demikian karena memandang
orang-orang sholih memiliki ilmu dan ibadah sehingga berkedudukan tinggi di
sisi Allah . Kemudian mereka mengkiaskan keadaan Allah dengan seorang raja di
dunia. Seorang raja tidak mungkin ditemui rakyatnya melainkan melalui para
pembantunya. Demikian juga tidak mungkin mereka mendekatkan diri kepada-Nya dan
dikabulkannya sebuah do’a melainkan harus melalui orang-orang sholih tadi.
Subhanallah ! Tidaklah mereka sadar bahwa alasan dan dalil yang mereka bawakan
itu sebenarnya sebuah celaan kepada Allah . Kias yang mereka kemukakan
merupakan sejahat-jahat kias yang mengandung unsur penyamaan Allah yang Maha
Kuasa dengan makhluk yang sarat dengan berbagai kelemahan. Padahal seorang yang
memilki mata hati yang paling lemah pun masih mengerti adanya perbedaan yang
sangat terang antara keadaan Rabbul ‘Alamin dengan segenap alam semesta ini.
Diantara perbedaan yang mencolok sekali antara seorang raja di dunia dengan
Allah bahwasanya seorang raja memang tidak mungkin memenuhi segala keinginan
rakyatnya karena kemampuannya yang sangat terbatas. Sedangkan Allah Maha Kuasa
untuk memenuhi kebutuhan setiap makhluk yang ada di alam semesta ini dan Dia
pun Maha Tidak Butuh kepada segenap makhluk-Nya. Walillahil Hamdu.
Ironis memang tatkala kita melihat dan menengok kenyataan bahwa bentuk dan
alasan mereka bertawasul ternyata diwarisi para generasi yang mengaku paling
mengerti tentang agama ini di jaman sekarang. Bahkan mereka telah melengkapi
alasan dan dalih rusak nenek moyang mereka terdahulu dengan dalih dan alasan
terbaru ataupun sekedar “menghias” keyakinan dan aqidah jahiliyyah masa silam.
Mereka menjadikan tawasul bid’ah ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
do’a dan dzikir mereka setiap hari. Kita pun sering mendengar dan melihat
mereka berkata: ( بِجَاهِ مُحَمَّدٍ … ) atau (بِبَرَكَةِ الشيخ عَبْدِ الْقَادِرِ الجَيْلاني …)
sebelum berdo’a kepada Allah dan seterusnya di masjid-masjid Allah.
Mereka pun tidak sekedar mengamalkan tawasul bid’ah namun lebih daripada itu
mendidik, mendakwahkan dan menulis karya-karya yang tidak mustahil akan dibaca
di setiap tempat dan jaman. Wallahul Musta’an.
Seandainya mereka mendatangkan sejuta alasan dengan sejuta pula tingkat
“keilmiahan” dari alasan-alasan sebelumnya, atau sekokoh dan setinggi apapun
bangunan syubuhat yang mereka tegakkan maka terpatahkanlah alasan dan hancur
pula bangunan tersebut secara serempak tatkala menghadapi tegaknya kaidah yang
telah kita miliki, sebelum kita datangkan jawaban dari tiap-tiap alasan
tersebut secara terperinci. Allah berfirman:
وَلاَ يَأْتُوْنَكَ
بِمَثَلٍ إلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحّقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Dan tidaklah mereka mendatangkan sesuatu yang janggal melainkan Kami mendatangkan
kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (Al Furqan :
33)
Tanya-Jawab
Soal: Kalau memang tawasul dengan dzat dan kedudukan Nabi tidak diperbolehkan
maka bagaimana dengan hadits:
تَوَسَّلُوا
بِجَاهِي فَإِنَّ جَاهي عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ
“Bertawasullah kalian dengan kedudukanku karena sesungguhnya kedudukanku sangat
agung di sisi Allah”.?
Jawab:
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah di dalam “Silsilah Adh Dho’ifah” 1/76-99
telah menjelaskan secara terperinci bahwa seluruh hadits yang menganjurkan
untuk bertawasul dengan dzat Nabi dan orang-orang sholih adalah lemah bahkan
sampai derajat tidak asalnya sama sekali.
Kita pun tetap meyakini tentang kedudukan Nabi yang sangat tinggi di sisi Allah
namun hal itu tidak sampai kepada sikap berlebih-lebihan kepada beliau dalam
bentuk bertawasul dengan dzatnya yang mulia.
Wallahu “A’lam bish Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar